Thursday, November 11, 2004

Kisah Sedih Menjelang Hari Raya


kebakaran di Palembang
Originally uploaded by Asril Wardani.

Jam di kantor menunjukkan pukul 9.46 pagi. Hari ini kondisi kantorku terlihat sepi dari biasanya. Maklum tinggal satu hari lagi hari raya Idul Fitri menjelang. Jadi kebanyakan rekan kerjaku sudah pada mudik, yang tinggal hanya beberapa yang kebetulan memang nggak ada kesempatan untuk itu atau memang nggak ada tempat untuk mudik seperti aku. Tentunya sebagian besar umat muslim yang akan merayakannya tengah bersibuk menyiapkan keperluan yang hanya terjadi satu tahun sekali itu.

Beberapa hari terakhir menjelang satu minggu lebaran, beberapa pusat perbelanjaan di Palembang sudah begitu ramai, begitupun tak ketinggalan dengan pasar-pasar tradisional. Tumplek blek warga disitu membeli barang keperluan yang bisa menjadi kebutuhan tahunan.

Memang sungguh menyenangkan mendapatkan hari penuh dengan bahagia, tawa, canda, dan tangisan bahagia. Bisa bersilaturrahmi dengan kerabat saling memaafkan segala khilaf dan salah. Subhanallah sungguh senang rasanya ada rasa ukhuwah yang tulus yang lahir dari hati sanubari setiap insan untuk bisa saling mengisi hati dengan rasa bersaudara. Hanya orang-orang yang nggak punya hati saja yang tak bisa memanfaatkan momentum hari raya dengan kesungguhan saling berbagi kasih.

Tapi ironis memang. Hari ini saat baru beberapa jam memasuki kantor. Ada sebuah paradoks yang bagiku bisa menjadi renungan hikmah dari sebuah kisah kehidupan. Saat baru membaca koran lokal pagi ini. Mata ini nggak bisa menahan rasa sedih yang dalam, membaca headline besar mengenai tragedi Kebakaran yang menghanguskan lebih dari 80 rumah kemarin siang (kamis, 11/11). Ya Allah, cobaan apa yang hendak kau timpakan kepada hamba-Mu dihari yang penuh barokah ini. Ada perasaan yang menyayat hati ketika membaca baris demi baris tulisan yang menggambarkan kronologis peristiwa itu.

Betapa sedih memikirkan saudara-saudara kita yang sedang dilanda musibah itu. Terlebih sebagian besar adalah keluarga prasejahtera yang hidup dari pekerjaan kecil seperti buruh, tukang becak, dan pedagang kecil lainnya. Yang paling memilukan ketika tahu ada seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya yang masih kecil. Dalam hati saya berdoa, mudah-mudahan Allah menyalamatkan kedua bocah malang tersebut.

Entahlah, hanya perasaan sedih atau iba yang tiba-tiba nggak ada artinya sama sekali. Yang tak mampu menghibur mereka yang malang. Kenapa rakyat jelata seperti mereka begitu memilukan nasibnya. Kenapa tak dibiarkan saja mereka merayakan hari raya bersama keluarganya? Tapi sudahlah, itu sudah menjadi sunatullah yang hanya ALLAH yang mengetahui rahasianya. Mudah-mudahan ada rahasia besar yang lebih membahagiakan mereka kelak dim akhirat. Amin.


No comments: